Analisa Relevansi dan Implikasi Praktis atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 83/PUU-XXII/2024 Terhadap Asas Utmost Good Faith

Asas Uberrimae Fidei atau Utmost Good Faith (Itikad Terbaik) merupakan prinsip fundamental dalam hukum asuransi yang menuntut adanya kejujuran dan keterbukaan penuh dari kedua belah pihak, baik penanggung (insurer) maupun tertanggung (insured), dalam proses pengikatan perjanjian asuransi.

Prinsip ini memainkan peran utama, terutama dalam konteks kewajiban pengungkapan (duty of disclosure) fakta material oleh tertanggung.

Berikut adalah penjelasan mengenai cara kerja asas ini dalam praktik serta relevansinya dengan fenomena hukum terbaru, khususnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-XXII/2024.

Penerapan Asas Utmost Good Faith dalam Praktik Asuransi

Kewajiban Pengungkapan Fakta Material

Fakta material adalah informasi yang dapat memengaruhi keputusan penanggung dalam menerima risiko atau menentukan syarat-syarat polis, termasuk premi yang dikenakan. Dalam asas ini, tertanggung memiliki kewajiban untuk mengungkapkan semua fakta material yang diketahuinya atau yang seharusnya diketahui secara wajar, meskipun tidak ditanyakan secara eksplisit oleh penanggung. Contoh dalam praktik: Seorang individu yang mengajukan asuransi kesehatan wajib mengungkapkan riwayat penyakit kronis yang dideritanya. Jika fakta ini tidak diungkapkan (non-disclosure), penanggung berhak membatalkan polis atau menolak klaim yang diajukan, karena dianggap melanggar asas itikad baik.

Pengungkapan oleh Penanggung

Sebaliknya, penanggung juga terikat oleh asas ini untuk memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada tertanggung, seperti ketentuan polis, pengecualian risiko, dan prosedur klaim. Pelanggaran asas ini oleh penanggung dapat menyebabkan polis dianggap tidak sah atau memberikan hak kepada tertanggung untuk mengajukan gugatan.

Konsekuensi Hukum Non-Disclosure

  • Voidable Contract: Jika terjadi pelanggaran asas ini oleh tertanggung melalui non-disclosure, penanggung dapat membatalkan perjanjian asuransi.
  • Material Misrepresentation: Jika terdapat kesalahan penyampaian informasi yang bersifat material, polis dapat dianggap batal sejak awal (void ab initio).

Relevansi Putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024 terhadap Asas Utmost Good Faith

Pada tanggal 3 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang membatasi penerapan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Pasal ini sebelumnya memberikan hak bagi penanggung untuk membatalkan polis asuransi secara sepihak jika terdapat pelanggaran kewajiban pengungkapan oleh tertanggung.

Putusan ini menyatakan bahwa:

  1. Penanggung tidak dapat lagi membatalkan polis secara sepihak hanya berdasarkan pelanggaran kewajiban pengungkapan fakta material oleh tertanggung, kecuali dapat dibuktikan bahwa pelanggaran tersebut dilakukan dengan sengaja untuk menipu (fraudulent intent).
  2. Hak tertanggung untuk mendapatkan perlindungan lebih diutamakan guna mencegah ketidakseimbangan dalam hubungan antara penanggung dan tertanggung.

Implikasi Praktis Putusan MK terhadap Prinsip Utmost Good Faith

Perubahan Paradigma Penerapan Asas

Dengan adanya putusan ini, asas utmost good faith tetap relevan, tetapi pendekatannya menjadi lebih seimbang. Penanggung tidak dapat lagi membatalkan polis hanya karena adanya kelalaian atau ketidaktahuan tertanggung dalam mengungkapkan fakta material, kecuali ada bukti niat curang. Hal ini memberikan perlindungan lebih besar bagi tertanggung yang bertindak tanpa niat buruk.

Peningkatan Tanggung Jawab Penanggung

Penanggung perlu lebih proaktif dalam mengajukan pertanyaan yang spesifik dan jelas kepada tertanggung selama proses underwriting. Hal ini mengurangi risiko non-disclosure yang tidak disengaja.

Penguatan Prinsip Transparansi

Putusan ini menggarisbawahi pentingnya transparansi dan kejelasan dalam komunikasi antara penanggung dan tertanggung. Penanggung harus memberikan informasi yang lebih rinci mengenai kewajiban pengungkapan kepada tertanggung untuk memastikan tidak ada kesalahpahaman.

Penyelesaian Sengketa Lebih Kompleks

Dalam situasi sengketa, pengadilan harus menilai secara lebih mendalam apakah pelanggaran kewajiban pengungkapan dilakukan dengan niat curang atau hanya akibat kelalaian. Hal ini dapat memengaruhi efisiensi dalam penyelesaian kasus asuransi.

Kesimpulan

Asas Utmost Good Faith tetap menjadi fondasi penting dalam hukum asuransi, terutama dalam mengatur kewajiban pengungkapan fakta material oleh tertanggung. Namun, dengan adanya putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024, penerapan asas ini mengalami penyesuaian yang signifikan. Pendekatan hukum kini lebih menekankan pada perlindungan terhadap tertanggung dari tindakan sepihak penanggung, kecuali ada bukti niat curang. Oleh karena itu, baik penanggung maupun tertanggung harus lebih berhati-hati dalam memenuhi kewajiban masing-masing demi menjaga keadilan dan keseimbangan dalam perjanjian asuransi.